BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Masalah keselamatan
dan kesehatan kerja (K3) secara umum di Indonesia masih sering terabaikan. Hal
ini ditunjukkan dengan masih tingginya angka kecelakaan kerja. Di Indonesia,
setiap tujuh detik terjadi satu kasus kecelakaan kerja (”K3 Masih Dianggap
Remeh,” Warta Ekonomi, 2 Juni 2006). Hal ini tentunya sangat
memprihatinkan. Tingkat kepedulian dunia usaha terhadap K3 masih rendah.
Padahal karyawan adalah aset penting perusahaan.
Kewajiban untuk
menyelenggarakaan Sistem Manajemen K3 pada perusahaan-perusahaan besar melalui
UU Ketenagakerjaan, baru menghasilkan 2,1% saja dari 15.000 lebih perusahaan
berskala besar di Indonesia yang sudah menerapkan Sistem Manajemen K3. Minimnya
jumlah itu sebagian besar disebabkan oleh masih adanya anggapan bahwa program
K3 hanya akan menjadi tambahan beban biaya perusahaan. Padahal jika
diperhitungkan besarnya dana kompensasi/santunan untuk korban kecelakaan kerja sebagai
akibat diabaikannya Sistem Manajemen K3, yang besarnya mencapai lebih dari 190
milyar rupiah di tahun 2003, jelaslah bahwa masalah K3 tidak selayaknya
diabaikan. Di samping itu, yang masih perlu menjadi catatan adalah standar
keselamatan kerja di Indonesia ternyata paling buruk jika dibandingkan dengan
negara-negara Asia Tenggara lainnya, termasuk dua negara lainnya, yakni
Bangladesh dan Pakistan. Sebagai contoh, data terjadinya kecelakaan kerja yang
berakibat fatal pada tahun 2001 di Indonesia sebanyak 16.931 kasus, sementara
di Bangladesh 11.768 kasus.
Jumlah kecelakaan
kerja yang tercatat juga ditengarai tidak menggambarkan kenyataan di lapangan
yang sesungguhnya yaitu tingkat kecelakaan kerja yang lebih tinggi lagi.
Seperti diakui oleh berbagai kalangan di lingkungan Departemen Tenaga Kerja,
angka kecelakaan kerja yang tercatat dicurigai hanya mewakili tidak lebih dari
setengah saja dari angka kecelakaan kerja yang terjadi. Hal ini disebabkan oleh
beberapa masalah, antara lain rendahnya kepentingan masyarakat untuk melaporkan
kecelakaan kerja kepada pihak yang berwenang, khususnya PT. Jamsostek.
Pelaporan kecelakaan kerja sebenarnya diwajibkan oleh undang-undang, namun
terdapat dua hal penghalang yaitu prosedur administrasi yang dianggap merepotkan
dan nilai klaim asuransi tenaga kerja yang kurang memadai. Di samping itu,
sanksi bagi perusahaan yang tidak melaporkan kasus kecelakaan kerja sangat
ringan.
Sebagian besar dari
kasus-kasus kecelakaan kerja terjadi pada kelompok usia produktif. Kematian
merupakan akibat dari kecelakaan kerja yang tidak dapat diukur nilainya secara
ekonomis. Kecelakaan kerja yang mengakibatkan cacat seumur hidup, di samping
berdampak pada kerugian non-materil, juga menimbulkan kerugian materil yang
sangat besar, bahkan lebih besar bila dibandingkan dengan biaya yang
dikeluarkan oleh penderita penyakit-penyakit serius seperti penyakit jantung
dan kanker.
Masalah umum mengenai
K3 ini juga terjadi pada penyelenggaraan konstruksi. Tenaga kerja di sektor
jasa konstruksi mencakup sekitar 7-8% dari jumlah tenaga kerja di seluruh
sektor, dan menyumbang 6.45% dari PDB di Indonesia. Sektor jasa konstruksi
adalah salah satu sektor yang paling berisiko terhadap kecelakaan kerja,
disamping sektor utama lainnya yaitu pertanian, perikanan, perkayuan, dan
pertambangan. Jumlah tenaga kerja di sektor konstruksi yang mencapai sekitar
4.5 juta orang, 53% di antaranya hanya mengenyam pendidikan sampai dengan
tingkat Sekolah Dasar, bahkan sekitar 1.5% dari tenaga kerja ini belum pernah
mendapatkan pendidikan formal apapun. Sebagai besar dari mereka juga berstatus
tenaga kerja harian lepas atau borongan yang tidak memiliki ikatan kerja yang
formal dengan perusahaan. Kenyataan ini tentunya mempersulit penanganan masalah
K3 yang biasanya dilakukan dengan metoda pelatihan dan penjelasan-penjelasan
mengenai Sistem Manajemen K3 yang diterapkan pada perusahaan
konstruksi.
Contoh kejadian :
1.
Tembok Bata Sepanjang 50 Meter Roboh
kejadian
yang mencoreng jasa konstruksi di Indonesia kembali terjadi. Lima pekerja tewas
dan sembilan lainnya luka parah tertimpa tembok bangunan pabrik kayu lapis yang
sedang dibangun di Dukuh Sawur, desa Genengsari, Kecamatan Polokarto,
Sukoharjo, Jawa Tengah, Kamis (11/9). Empat korban tewas di tempat kejadian
sementara satu lainnya meninggal di RS PKU Muhammadidyah Karanganyar
Menurut saksi mata, Imam Hartono, pemilik pabrik, sebelum
tembok roboh, datang angin kencang dari arah barat. “Kejadian berlangsung
tiba-tiba, tidak ada seorang pun tukang bangunan yang menyangka kalau tembok
yang sedang dikerjakan itu runtuh setelah dihantam angin yang datang dari arah
barat,” ungkapnya. Menurut Sutoyo,46, pekerja yang selamat dari tragedi
tersebut menyatakan sebelumnya tidak ada tanda-tanda tembok setinggi lima meter
dengan panjang hampir 50 meter yang sedang dikerjakan itu akan roboh.
“Tiba-tiba tembok sebelah barat itu ambruk dan menimpa teman-teman yang sedang
berada di bawahnya,” ujarnya.
2.
Pekerja Bangunan Tewas Setelah Terpeleset
TEMPO Interaktif, Jakarta
- Seorang pekerja bangunan tewas setelah terjatuh dari lantai satu proyek
bangunan Gandaria City, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Diperkirakan akibat
kecelakaan kerja.
"Pekerja itu terpeleset lalu terjatuh dari lantai
satu," kata Kepala Kepolisian Sektor Kebayoran Lama, Komisaris Polisi
Makmur Simbolon kepada wartawan.
Menurut dia, kejadian terjadi sekitar pukul 11.00. Ketika
itu, pekerja yang belum diketahui identitasnya itu terpeleset dengan posisi
kepala terlebih dulu menghantam tanah.
"Korban langsung dilarikan ke RS Fatmawati.
Diperkirakan meninggal selama perjalanan," tambah dia.(ANTON WILLIAM Senin, 05 Juli 2010 | 12:50 WIB)
3.
Pekerja Bangunan Tewas Terjatuh dari Lantai Sembilan
Surabaya - Seorang pekerja proyek pembangunan gedung dijalan
Manyar Kertoarjo, Surabaya, Jawa Timur, terjatuh dari lantai sembilan atau
ketinggian sekitar 38 meter dan tewas seketika di lokasi kejadian,Kamis. Korban
tewas bernama Zaenal Abidin (33), warga Desa Burno, Bojonegoro. Sedangkan
rekannya, Kalam (25), warga Jalan Pandegiling, Surabaya, bernasib lebih
beruntung, karena meskipun sama-sama terjatuh, tetapi masih selamat dan
mengalami patah tulang tangan kanan serta rusuk bagian belakang memar. Salah
satu saksi mata, Gatot, mengaku terkejut mendengar suara benda jatuh dari atas
dan ketika dilihat ternyata dua orang pekerja sedang tergeletak.
"Saya diberitahu teman-teman kalau ada pekerja yang jatuh. Ternyata Zaenal Abidin dan Kalam. Kemudian, kami membawanya ke Rumah Sakit Dr Soetomo," ujarnya. Peristiwa kecelakaan kerja tersebut terjadi usai jam istirahat. Kedua korban saat itu sedang bertugas menaikkan 10 triplek ke lantai sembilan dengan menggunakan lift yang tanpa dilengkapi pengaman. Namun, angin yang bertiup sangat kencang menerpa triplek, sehingga satu di antaranya terjatuh. Tidak berhenti sampai disitu, angin yang bertiup malah membuat keduanya tak seimbang hingga terjatuh.
"Korban Zaenal Abidin langsung terjatuh ke tanah, sedang Kalam sempat tersangkut di lantai empat," kata Gatot. Kapolsek Mulyorejo Komisaris Polisi Hariyono ketika dikonfirmasi membenarkan peristiwa tersebut dan telah menurunkan anggotanya ke tempat kejadian perkara (TKP). Pihaknya juga melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi yang mengetahui peristiwa tersebut. "Kami belum bisa memastikan, apakah ada tersangka atau tidak dalam kasus ini," ujarnya. (20 Jan 2011 21:14:10| Penulis : Fiqih Arfani)
"Saya diberitahu teman-teman kalau ada pekerja yang jatuh. Ternyata Zaenal Abidin dan Kalam. Kemudian, kami membawanya ke Rumah Sakit Dr Soetomo," ujarnya. Peristiwa kecelakaan kerja tersebut terjadi usai jam istirahat. Kedua korban saat itu sedang bertugas menaikkan 10 triplek ke lantai sembilan dengan menggunakan lift yang tanpa dilengkapi pengaman. Namun, angin yang bertiup sangat kencang menerpa triplek, sehingga satu di antaranya terjatuh. Tidak berhenti sampai disitu, angin yang bertiup malah membuat keduanya tak seimbang hingga terjatuh.
"Korban Zaenal Abidin langsung terjatuh ke tanah, sedang Kalam sempat tersangkut di lantai empat," kata Gatot. Kapolsek Mulyorejo Komisaris Polisi Hariyono ketika dikonfirmasi membenarkan peristiwa tersebut dan telah menurunkan anggotanya ke tempat kejadian perkara (TKP). Pihaknya juga melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi yang mengetahui peristiwa tersebut. "Kami belum bisa memastikan, apakah ada tersangka atau tidak dalam kasus ini," ujarnya. (20 Jan 2011 21:14:10| Penulis : Fiqih Arfani)
Proyek konstruksi tidak hanya menuntut akurasi dalam
perencanaan kekuatan, akan tetapi perlu dicermati mengenai metode dan teknologi
konstruksinya. Kesalahan dalam metode konstruksi terbukti berakibat yang sangat
fatal, yaitu korban jiwa tenaga kerjanya. Membiarkan tembok baru yang tinggi
tanpa bingkai (perkuatan yang cukup) dari kolom dan sloof beton bertulang atau
besi profil tentunya sangat berbahaya ketika menerima gaya horisontal (dalam
hal ini hembusan angin). Selain itu tembok dengan panjang 50 m, akan sangat
riskan jika tidak diberikan dilatansi yang cukup.
Masalah keselamatan dan kesehatan kerja (K3) secara umum di
Indonesia masih sering terabaikan. Hal ini ditunjukkan dengan masih tingginya
angka kecelakaan kerja. Di Indonesia, setiap tujuh detik terjadi satu kasus
kecelakaan kerja (”K3 Masih Dianggap Remeh,” Warta Ekonomi, 2 Juni 2006). Hal
ini tentunya sangat memprihatinkan. Tingkat kepedulian dunia usaha terhadap K3
masih rendah. Padahal karyawan adalah aset penting perusahaan. Kewajiban untuk
menyelenggarakaan Sistem Manajemen K3 pada perusahaan-perusahaan besar melalui
UU Ketenagakerjaan, baru menghasilkan 2,1% saja dari 15.000 lebih perusahaan
berskala besar di Indonesia yang sudah menerapkan Sistem Manajemen K3. Minimnya
jumlah itu sebagian besar disebabkan oleh masih adanya anggapan bahwa program
K3 hanya akan menjadi tambahan beban biaya perusahaan. Padahal jika
diperhitungkan besarnya dana kompensasi/santunan untuk korban kecelakaan kerja
sebagai akibat diabaikannya Sistem Manajemen K3, yang besarnya mencapai lebih
dari 190 milyar rupiah di tahun 2003, jelaslah bahwa masalah K3 tidak
selayaknya diabaikan. Di samping itu, yang masih perlu menjadi catatan adalah
standar keselamatan kerja di Indonesia ternyata paling buruk jika dibandingkan
dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, termasuk dua negara lainnya, yakni
Bangladesh dan Pakistan. Sebagai contoh, data terjadinya kecelakaan kerja yang
berakibat fatal pada tahun 2001 di Indonesia sebanyak 16.931 kasus, sementara
di Bangladesh 11.768 kasus.
2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan pada latar belakang di atas, maka
permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana kesalahan
dalam metode konstruksi dapat di minimalisir dan mencegah kecelakaan kerja guna
meningkatkan kesehatan dan keselamatan kerja.
3.
Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui metode
konstruksi yang benar dan mencegah kecelakaan kerja guna meningkatkan kesehatan
dan keselamatan kerja.
BAB
II
PEMBAHASAN
Kecelakaan kerja merupakan suatu hal yang sering terjadi
dalam dunia kerja, terjadinya kecelakaan kerja ini dapat kita pelajari dan
diupayakan pencegahannya. Adapun beberapa teori mengenai
penyebab kecelakaan kerja, yaitu:
1.
Teori Heinrich ( Teori Domino)
Teori ini mengatakan bahwa suatu kecelakaan terjadi dari
suatu rangkaian kejadian . Ada lima faktor yang terkait dalam rangkaian
kejadian tersebut yaitu : lingkungan, kesalahan manusia, perbuatan atau
kondisi yang tidak aman, kecelakaan, dan cedera atau kerugian (Ridley, 1986).
2.
Teori Multiple Causation
Teori ini berdasarkan pada kenyataan bahwa kemungkinan ada
lebih dari satu penyebab terjadinya kecelakaan. Penyebab ini mewakili
perbuatan, kondisi atau situasi yang tidak aman. Kemungkinan-kemungkinan
penyebab terjadinya kecelakaan kerja tersebut perlu diteliti.
3.
Teori Gordon
Menurut Gordon (1949), kecelakaan merupakan akibat dari
interaksi antara korban kecelakaan, perantara terjadinya kecelakaan, dan
lingkungan yang kompleks, yang tidak dapat dijelaskan hanya dengan
mempertimbangkan salah satu dari 3 faktor yang terlibat. Oleh karena itu, untuk
lebih memahami mengenai penyebab-penyebab terjadinya kecelakaan maka
karakteristik dari korban kecelakaan, perantara terjadinya kecelakaan, dan
lingkungan yang mendukung harus dapat diketahui secara detail.
4.
Teori Domino terbaru
Setelah tahun 1969 sampai sekarang, telah berkembang suatu
teori yang mengatakan bahwa penyebab dasar terjadinya kecelakaan kerja adalah
ketimpangan manajemen. Widnerdan Bird dan Loftus mengembangkan teori Domino
Heinrich untuk memperlihatkan pengaruh manajemen dalam mengakibatkan terjadinya
kecelakaan.
5.
Teori Reason
Reason (1995,1997) menggambarkan kecelakaan kerja terjadi
akibat terdapat “lubang” dalam sistem pertahanan. Sistem pertahanan ini dapat
berupa pelatihan-pelatihan, prosedur atau peraturan mengenai keselamatan kerja,
6.
Teori Frank E. Bird Petersen
Penelusuran sumber yang mengakibatkan kecelakaan . Bird
mengadakan modifikasi dengan teori domino Heinrich dengan menggunakan teori
manajemen, yang intinya sebagai berikut (M.Sulaksmono,1997) :
I. Manajemen kurang kontrol
II. Sumber penyebab utama
III. Gejala penyebab langsung (praktek di bawah standar)
IV. Kontak peristiwa ( kondisi di bawah standar )
V. Kerugian gangguan ( tubuh maupun harta benda )
Usaha pencegahan kecelakaan kerja hanya berhasil apabila
dimulai dari memperbaiki manajemen tentang keselamayan dan kesehatan kerja.
Kemudian, praktek dan kondisi di bawah standar merupakan penyebab terjadinya
suatu kecelakaan dan merupakan gejala penyebab utama akibat kesalahan
manajemen.
B.
Faktor Terjadinya Kecelakaan Kerja
Terjadinya
kecelakaan kerja disebabkan oleh 2 faktor utama yakni faktor fisik dan faktor
manusia. Kecelakaan kerja ini mencakup 2 permasalahan pokok, yakni:
a. Kecelakaan akibat langsung pekerjaan (PAK)
b. Kecelakaan terjadi pada saat pekerjaan sedang dilakukan (PAHK)
Dalam
perkembangan selanjutnya ruang lingkup kecelakaan ini diperluas lagi sehingga
mencakup kecelakaan-kecelakaan tenaga kerja yang terjadi pada saat perjalanan
atau transport ke dan dari tempat kerja. Dengan kata lain kecelakaan lalu
lintas yang menimpa tenaga kerja dalam perjalanan ke dan dari tempat kerja atau
dalam rangka menjalankan pekerjaannya juga termasuk kecelakaan kerja. Penyebab
kecelakaan kerja pada umumnya digolongkan menjadi 2, yakni:
a. Faktor Fisik
Kondisi-kondisi lingkungan pekerjaan yang tidak aman atau
unsafety condition misalnya lantai licin, pencahayaan kurang, silau, dan
sebagainya.
b. Faktor Manusia
Perilaku pekerja itu sendiri yang tidak memenuhi
keselamatan, misalnya karena kelengahan, ngantuk, kelelahan, dan sebagainya.
Menurut hasil penelitian yang ada, 85 % dari kecelakaan yang terjadi disebabkan
oleh faktor manusia.
C.
Klasifikasi Kecelakaan Kerja
Menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO),
kecelakaan akibat kerja ini diklasifikasikan berdasarkan 4 macam penggolongan, yakni:
a.
Klasifikasi menurut jenis kecelakaan :
•
Terjatuh
•
Tertimpa benda
•
Tertumbuk atau terkena benda-benda
•
Terjepit oleh benda
•
Gerakan-gerakan melebihi kemampuan
•
Pengaruh suhu tinggi
•
Terkena arus listrik
•
Kontak bahan-bahan berbahaya atau radiasi
b.
Klasifikasi menurut penyebab :
•
Mesin, misalnya mesin pembangkit tenaga listrik.
•
Alat angkut: alat angkut darat, udara, dan air.
•
Peralatan lain misalnya dapur pembakar dan pemanas, instalasi pendingin,
alat-alat listrik, dan sebagainya.
•
Bahan-bahan,zat-zat dan radiasi, misalnya bahan peledak,gas,zat-zat kimia, dan sebagainya.
•
Lingkungan kerja ( diluar bangunan, di dalam bangunan dan di bawah tanah )
•
Penyebab lain yang belum masuk tersebut di atas.
c.
Klasifikasi menurut sifat luka atau kelainan :
•
Patah tulang\
•
Dislokasi ( keseleo )
•
Regang otot (urat)
•
Memar dan luka dalam yang lain
•
Amputasi
•
Luka di permukaan
•
Geger dan remuk
•
Luka bakar
•
Keracunan-keracunan mendadak
•
Pengaruh radiasi
•
Lain-lain
d.
Klasifikasi menurut letak kelainan atau luka di tubuh :
•
Kepala
•
Leher
•
Badan
•
Anggota atas
•
Anggota bawah
•
Banyak tempat
•
Letak lain yang tidak termasuk dalam klsifikasi tersebut.
D. Risiko Kecelakaan Kerja Pada Proyek
Konstruksi
Industri jasa konstruksi merupakan salah satu sektor
industri yang memiliki risiko kecelakaan kerja yang cukup tinggi. Berbagai
penyebab utama kecelakaan kerja pada proyek konstruksi adalah hal-hal yang
berhubungan dengan karakteristik proyek konstruksi yang bersifat unik, lokasi
kerja yang berbeda-beda, terbuka dan dipengaruhi cuaca, waktu pelaksanaan yang
terbatas, dinamis dan menuntut ketahanan fisik yang tinggi, serta banyak
menggunakan tenaga kerja yang tidak terlatih. Ditambah dengan manajemen
keselamatan kerja yang sangat lemah, akibatnya para pekerja bekerja dengan
metoda pelaksanaan konstruksi yang berisiko tinggi. Untuk memperkecil risiko
kecelakaan kerja, sejaka awal tahun 1980an pemerintah telah mengeluarkan suatu
peraturan tentang keselamatan kerja khusus untuk sektor konstruksi, yaitu
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per-01/Men/1980.
Peraturan mengenai keselamatan kerja untuk konstruksi
tersebut, walaupun belum pernah diperbaharui sejak dikeluarkannya lebih dari 20
tahun silam, namun dapat dinilai memadai untuk kondisi minimal di Indonesia.
Hal yang sangat disayangkan adalah pada penerapan peraturan tersebut di
lapangan. Rendahnya kesadaran masyarakat akan masalah keselamatan kerja, dan rendahnya
tingkat penegakan hukum oleh pemerintah, mengakibatkan penerapan peraturan
keselamatan kerja yang masih jauh dari optimal, yang pada akhirnya menyebabkan
masih tingginya angka kecelakaan kerja. Akibat penegakan hukum yang sangat
lemah, King and Hudson (1985) menyatakan bahwa pada Tantangan Masalah
Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Proyek Konstruksi di Indonesia proyek
konstruksi di negara-negara berkembang, terdapat tiga kali lipat tingkat
kematian dibandingkan dengan di negara-negara maju.
Dari berbagai kegiatan dalam pelaksanaan proyek konstruksi,
pekerjaan-pekerjaan yang paling berbahaya adalah pekerjaan yang dilakukan pada
ketinggian dan pekerjaan galian. Pada kedua jenis pekerjaan ini kecelakaan
kerja yang terjadi cenderung serius bahkan sering kali mengakibatkan cacat
tetap dan kematian. Jatuh dari ketinggian adalah risiko yang sangat besar dapat
terjadi pada pekerja yang melaksanakan kegiatan konstruksi pada elevasi tinggi.
Biasanya kejadian ini akan mengakibat kecelakaan yang fatal. Sementara risiko
tersebut kurang dihayati oleh para pelaku konstruksi, dengan sering kali
mengabaikan penggunaan peralatan pelindung (personal fall arrest system) yang
sebenarnya telah diatur dalam pedoman K3 konstruksi. Jenis-jenis kecelakaan
kerja akibat pekerjaan galian dapat berupa tertimbun tanah, tersengat aliran
listrik bawah tanah, terhirup gas beracun, dan lain-lain. Bahaya tertimbun
adalah risiko yang sangat tinggi, pekerja yang tertimbun tanah sampai sebatas
dada saja dapat berakibat kematian. Di samping itu, bahaya longsor dinding
galian dapat berlangsung sangat tiba-tiba, terutama apabila hujan terjadi pada
malam sebelum pekerjaan yang akan dilakukan pada pagi keesokan harinya. Data
kecelakaan kerja pada pekerjaan galian di Indonesia belum tersedia, namun
sebagai perbandingan, Hinze dan Bren (1997) mengestimasi jumlah kasus di
Amerika Serikat yang mencapai 100 kematian dan 7000 cacat tetap per tahun
akibat tertimbun longsor dinding galian serta kecelakaan-kecelakaan lainnya
dalam pekerjaan galian.
Masalah keselamatan dan kesehatan kerja berdampak ekonomis
yang cukup signifikan. Setiap kecelakaan kerja dapat menimbulkan berbagai macam
kerugian. Di samping dapat mengakibatkan korban jiwa, biaya-biaya lainnya
adalah biaya pengobatan, kompensasi yang harus diberikan kepada pekerja, premi
asuransi, dan perbaikan fasilitas kerja. Terdapat biaya-biaya tidak langsung
yang merupakan akibat dari suatu kecelakaan kerja yaitu mencakup kerugian waktu
kerja (pemberhentian sementara), terganggunya kelancaran pekerjaan (penurunan
produktivitas), pengaruh psikologis yang negatif pada pekerja, memburuknya
reputasi perusahaan, denda dari pemerintah, serta kemungkinan berkurangnya
kesempatan usaha (kehilangan pelanggan pengguna jasa). Biaya-biaya tidak
langsung ini sebenarnya jauh lebih besar dari pada biaya langsung. Berbagai
studi
menjelaskan
bahwa rasio antara biaya tidak langsung dan biaya langsung akibat kecelakaan
kerja konstruksi sangat bervariasi dan diperkirakan mencapai 4:1 sampai dengan
bahkan 17:1 (The Business Roundtable, 1991).
Dampak
Kecelakaan Kerja
Berikut
ini merupakan penggolongan dampak dari kecelakaan kerja (Simanjuntak, 1994):
a.
Meninggal dunia
Dalam
hal ini termasuk kecelakaan yang paling fatal yang menyebabkan penderita
meninggal dunia walaupun telah mendapatkan pertolongan dan perawatan
sebelumnya.
b.
Cacat permanen total
Merupakan
cacat yang mengakibatkan penderita secara permanen tidak mampu lagi sepenuhnya
melakukan pekerjaan produktif karena kehilangan atau tidak berfungsinya lagi
bagian-bagian tubuh seperti: kedua mata, satu mata adan satu tangan atau satu
lengan atau satu kaki. Dua bagian tubuh yang tidak terletak pada satu ruas
tubuh.
c.
Cacat permanen sebagian
Cacat
yang mengakibatkan astu bagian tubuh hilang atau terpaksa dipotong atau sama sekali
tidak berfungsi.
d.
Tidak mampu bekerja sementara
Kondisi
sementara ini dimaksudkan baik ketika dalam masa pengobatan maupun karena harus
beristirahat menunggu kesembuhan, sehingga ada hari-hari kerja hilang dalam
arti yang bersangkutan tidak melakukan kerja produkti
E. Pedoman K3 Konstruksi
Pemerintah telah sejak lama mempertimbangkan masalah
perlindungan tenaga kerja, yaitu melalui UU No. 1 Tahun 1970 Tentang
Keselamatan Kerja. Sesuai dengan perkembangan jaman, pada tahun 2003,
pemerintah mengeluarkan UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang undang ini
mencakup berbagai hal dalam perlindungan pekerja yaitu upah, kesejahteraan,
jaminan sosial tenaga kerja, dan termasuk juga masalah keselamatan dan
kesehatan kerja.
Aspek ketenagakerjaan dalam hal K3 pada bidang konstruksi,
diatur melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
No.PER-01/MEN/1980 Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Konstruksi
Bangunan. Peraturan ini mencakup ketentuan-ketentuan mengenai keselamatan dan
kesehatan kerja secara umum maupun pada tiap bagian konstruksi bangunan.
Peraturan ini lebih ditujukan untuk konstruksi bangunan, sedangkan untuk jenis
konstruksi lainnya masih banyak aspek yang belum tersentuh. Di samping itu,
besarnya sanksi untuk pelanggaran terhadap peraturan ini sangat minim yaitu
senilai seratus ribu rupiah. Sebagai tindak lanjut dikeluarkannya Peraturan
Menakertrans tersebut, pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama Menteri
Pekerjaan Umum dan Menteri Tenaga Kerja No.Kep.174/MEN/1986-104/KPTS/1986:
Pedoman Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi.
Pedoman yang selanjutnya disingkat sebagai ”Pedoman K3 Konstruksi” ini
merupakan pedoman yang dapat dianggap sebagai standar K3 untuk konstruksi di
Indonesia. Pedoman K3 Konstruksi ini cukup komprehensif, namun terkadang sulit
dimengerti karena menggunakan istilah-istilah yang tidak umum digunakan, serta
tidak dilengkapi dengan deskripsi/gambar yang memadai. Kekurangan-
kekurangan
tersebut tentunya sangat menghambat penerapan pedoman di lapangan, serta dapat
menimbulkan perbedaan pendapat dan perselisihan di antara pihak pelaksana dan
pihak pengawas konstruksi.
Pedoman K3 Konstruksi selama hampir dua puluh tahun masih
menjadi pedoman yang berlaku. Baru pada tahun 2004, Departemen Permukiman dan
Prasarana Wilayah, yang kini dikenal sebagai Departemen Pekerjaan Umum, amulai
memperbarui pedoman ini, dengan dikeluarkannya KepMen Kimpraswil No.
384/KPTS/M/2004 Tentang Pedoman Teknis Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada
Tempat Kegiatan Konstruksi Bendungan. ”Pedoman Teknis K3 Bendungan” yang baru
ini khusus ditujukan untuk proyek konstruksi bendungan, sedangkan untuk
jenis-jenis proyek konstruksi lainnya seperti jalan, jembatan, dan bagunan
gedung, belum dibuat pedoman yang lebih baru. Namun, apabila dilihat dari
cakupan isinya, Pedoman Teknis K3 untuk bendungan tersebut sebenarnya dapat
digunakan pula untuk jenis-jenis proyek konstruksi lainnya. ”Pedoman Teknis K3
Bendungan” juga mencakup daftar berbagai penyakit akibat kerja yang hrus
dilaporkan. Bila dibandingkan dengan standar K3 untuk jasa konstruksi di
Amerika Serikat misalnya, (OSHA, 29 CFR Part 1926), Occupational Safety and
Health Administration (OSHA), sebuah badan khusus di bawah Departemen Tenaga
Kerja yang mengeluarkan pedoman K3 termasuk untuk bidang konstrusksi,
memperbaharui peraturan K3-nya secara berkala (setiap tahun). Peraturan atau
pedoman teknis tersebut juga sangat komprehensif dan mendetil. Hal lain yang
dapat dicontoh adalah penerbitan brosur-brosur penjelasan untuk menjawab secara
spesifik berbagai isu utama yang muncul dalam pelaksanaan pedoman Tantangan
Masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Proyek Konstruksi di Indonesia
teknis di lapangan. Pedoman yang dibuat dengan tujuan untuk tercapainya keselamatan
dan kesehatan kerja, bukan hanya sekedar sebagai aturan, selayaknya secara
terus menerus disempurnakan dan mengakomodasi masukan-masukan dari pengalaman
pelaku konstruksi di lapangan. Dengan demikian, pelaku konstruksi akan secara
sadar mengikuti peraturan untuk tujuan keselamatan dan kesehatan kerjanya
sendiri.
F.
Pengawasan dan Sistem Menejemen K3
Menurut UU Ketenagakerjaan, aspek pengawasan ketenagakerjaan
termasuk masalah K3 dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang harus
memiliki kompetensi dan independensi. Pegawai pengawas perlu merasa bebas dari
pengaruh berbagai pihak dalam mengambil keputusan. Di samping itu, unit kerja
pengawasan ketenagakerjaan baik pada pemerintah propinsi maupun pemerintah
kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan kepada Menteri
Tenaga Kerja. Pegawai pengawasan ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya
wajib merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan dan
tidak menyalah gunakan kewenangannya. Pegawai pengawas ini sangat minim
jumlahnya, pegawai pengawas K3 di Departemen Tenaga Kerja pada tahun 2002
berjumlah 1.299 orang secara nasional, yang terdiri dari 389 orang tenaga
pengawas struktural dan 910 orang tenaga pengawas fungsional. Para tenaga
pengawas ini jumlahnya sangat minim bila dibandingkan dengan lingkup tugasnya
yaitu mengawasi 176.713 perusahaan yang mencakup 91,65 juta tenaga kerja di
seluruh Indonesia. Pemerintah menyadari bahwa penerapan masalah K3 di
perusahaan-perusahaan tidak dapat diselesaikan dengan pengawasan saja.
Perusahaan-perusahaan perlu berpatisipasi aktif dalam penanganan masalah K3
dengan menyediakan rencana yang baik, yang dikenal sebagai Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja atau ”SMK3.” SMK3 ini merupakan tindakan nyata
yang berkaitan dengan usaha yang dilakukan oleh seluruh tingkat manajemen dalam
suatu organisasi dan dalam pelaksanaan pekerjaan, agar seluruh pekerja dapat
terlatih dan termotivasi untuk melaksanakan program K3 sekaligus bekerja dengan
lebih produktif.
UU Ketenagakerjaan mewajibkan setiap perusahaan yang
memiliki lebih dari 100 pekerja, atau kurang dari 100 pekerja tetapi dengan
tempat kerja yang berisiko tinggi (termasuk proyek konstruksi), untuk
mengembangkan SMK3 dan menerapkannya di tempat kerja. SMK3 perlu dikembangkan
sebagai bagian dari sistem manajemen suatu perusahaan secara keseluruhan. SMK3
mencakup hal-hal berikut: struktur organisasi, perencanaan, pelaksanaan,
tanggung jawab, prosedur, proses dan sumber daya yang dibutuhkan bagi
pengembangan penerapan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan kebijakan
keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian resiko yang berkaitan
dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan
produktif. Kementrian Tenaga Kerja juga menunjuk tenaga-tenaga
inspektor/pengawas untuk memeriksa perusahaan-perusahaan dalam menerapkan
aturan mengenai SMK3.Para tenaga pengawas perlu melalukan audit paling tidak
satu kali dalam tiga tahun.
Perusahaan- perusahaan yang memenuhi kewajibannya akan
diberikan sertifikat tanda bukti. Tetapi peraturan ini kurang jelas dalam
mendifinisikan sanksi bagi perusahaan-perusahaan yang tidak memenuhi
kewajibannya. Berbagai usaha telah dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan
kesadaran masyarakat mengenai masalah K3, yaitu salah satunya dengan memberikan
apresiasi kepada para pengusaha yang menerapkan prinsip-prinsip K3 dalam
operasional perusahaan yang berupa penghargaan tertulis serta diumumkan di
media-media massa, seperti yang dilakukan oleh Direktorat Pengawasan Norma
Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Departemen Tenaga Kerja bekerja sama dengan
Majalah Warta Ekonomi dan PT Dupont Indonesia.
Untuk tahun 2005 silam, pemenang penghargaan tersebut adalah
PT. Total E&P Indonesia (kategori Industri Pertambangan, Minyak, dan Gas),
PT. Nestle Indonesia (kategori Industri Consumer Goods), dan PT. Amoco Mitsui
PTA Indonesia serta PT. Wijaya Karya (kategori Industri Lainnya). Keempat
pemenang ini disaring dari 125 finalis. Melihat nama-nama perusahaan yang
mendapatkan penghargaan, menunjukkan bahwa sebagian pelaku usaha yang sangat
menyadari masalah K3 adalah perusahaan-perusahaan multinasional. Namun, yang
menarik adalah bahwa terdapat satu perusahaan kontraktor nasional (BUMN) yaitu
PT. Wijaya Karya sudah berada pada jajaran perusahaan-perusahaan yang memiliki
komitmen tinggi terhadap masalah K3. Memang terdapat pengaruh positif budaya K3
yang dirasakan oleh pelaku konstruksi nasional, yang dibawa oleh
perusahaan-perusahaan asing yang menerapkan prinsip-prinsip K3 di proyek-proyek
konstruksi, sehingga sedikit banyak memaksa perubahan perilaku para tenaga
kerja konstruksi.
G.
Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Penanganan masalah kecelakaan kerja juga didukung oleh
adanya UU No. 3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Berdasarkan UU ini,
jaminan sosial tenaga kerja (jamsostek) adalah perlindungan bagi tenaga kerja
dalam bentuk santunan uang sebagai pengganti sebagian penghasilan yang hilang
atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat dari suatu peristiwa atau keadaan
yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin,
tua dan meninggal dunia. Jamsostek kemudian diatur lebih lanjut melalui PP No.
14/1993 mengenai penyelenggaraan jamsostek di Indonesia. Kemudian, PP ini
diperjelas lagi dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. PER-05/MEN/1993,
yang menunjuk PT. ASTEK (sekarang menjadi PT. Jamsostek), sebagai sebuah badan
(satu-satunya) penyelenggara jamsostek secara nasional.
Sebagai penyelenggara asuransi jamsostek, PT. Jamsostek juga
merupakan suatu badan yang mencatat kasus-kasus kecelakaan kerja termasuk pada
proyek-proyek konstruksi melalui pelaporan klaim asusransi setiap kecelakaan
kerja terjadi. Melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-196/MEN/1999,
berbagai aspek penyelenggaraan program jamsostek diatur secara khusus untuk
para tenaga kerja harian lepas, borongan,Tantangan Masalah Keselamatan dan
Kesehatan Kerja pada Proyek Konstruksi di Indonesia dan perjanjian kerja waktu
tertentu, pada sektor jasa konstruksi. Karena pekerja sektor jasa konstruksi
sebagian besar berstatus harian lepas dan borongan, maka KepMen ini sangat
membantu nasib mereka. Para pengguna jasa wajib mengikutsertakan
pekerja-pekerja lepas ini dalam dua jenis program jamsostek yaitu jaminan
kecelakaan kerja dan jaminan kematian. Apabila mereka bekerja lebih dari 3
bulan, pekerja lepas ini berhak untuk ikut serta dalam dua program tambahan
lainnya yaitu program jaminan hari tua dan jaminan pemeliharaan kesehatan.
Khusus mengenai aspek kesehatan kerja diatur melalui Keppres No.22/1993. Dalam
Keppres ini, terdapat 31 jenis penyakit yang diakui untuk mungkin timbul karena
hubungan kerja. Setiap tenaga kerja yang menderita salah satu penyakit ini
berhak mendapat jaminan kecelakaan kerja baik pada saat masih dalam hubungan
kerja maupun setelah hubungan kerja berakhir (sampai maksimal 3 tahun). Pada
umumnya, penyakit-penyakit tersebut adalah sebagai akibat terkena bahan kimia
yang beracun yang berasal dari material konstruksi yang apabila terkena dalam
waktu yang cukup lama dapat mengakibatkan penyakit yang serius. Penyakit yang
mungkin timbul juga termasuk kelainan pendengaran akibat kebisingan kegiatan
konstruksi, serta kelainan otot, tulang dan persendian yang sering terjadi pada
pekerja konstruksi yang terlibat dalam proses pengangkutan material berbobot
dan berulang, dan penggunaan peralatan konstruksi yang kurang ergonomis.
Dengan demikian, perlindungan tenaga kerja dalam bentuk
jamsostek secara legal dapat dikatakan memadai. Namun, besarnya pembayaran
jaminan tersebut sering kali tidak memadai. Sebagai contoh, biaya-biaya
transportasi dan perawatan di rumah sakit akibat kecelakaan kerja yang sudah
tidak sesuai lagi dengan tingginya kenaikan harga yang terjadi pada saat ini.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian mengenai berbagai aspek Keselamatan dan
Kesehatan Kerja pada penyelenggaraan konstruksi di Indonesia, dapat diambil
kesimpulan bahwa bebagai masalah dan tantangan yang timbul tersebut berakar
dari rendahnya taraf kualitas hidup sebagian besar masyarakat. Dari sekitar 4.5
juta pekerja konstruksi Indonesia, lebih dari 50% di antaranya hanya mengenyam
pendidikan maksimal sampai dengan tingkat Sekolah Dasar. Mereka adalah tenaga
kerja lepas harian yang tidak meniti karir ketrampilan di bidang konstruksi,
namun sebagian besar adalah para tenaga kerja dengan ketrampilan seadanya dan
masuk ke dunia jasa konstruksi akibat dari keterbatasan pilihan hidup.
Permaslahan K3 pada jasa konstruksi yang bertumpu pada
tenaga kerja berkarakteristik demikian, tentunya tidak dapat ditangani dengan
cara-cara yang umum dilakukan di negara maju. Langkah pertama perlu segera
diambil adalah keteladanan pihak Pemerintah yang mempunyai fungsi sebagai
pembina dan juga “the biggest owner.” Pihak pemilik proyek lah yang memiliki
peran terbesar dalam usaha perubahan paradigma K3 konstruksi. Dalam
penyelenggaraan proyek-proyek konstruksi yang didanai oleh APBN/APBD/Pinjaman
Luar Negeri, Pemerintah antara lain dapat mensyaratkan penilaian sistem K3
sebagai salah satu aspek yang memiliki bobot yang besar dalam proses evaluasi
pemilihan penyedia jasa. Di samping itu, hal yang terpenting adalah aspek
sosialisasi dan pembinaan yang terus menerus kepada seluruh komponen Masyarakat
Jasa Konstruksi, karena tanpa program-program yang bersifat partisipatif,
keberhasilan penanganan masalah K3 konstruksi tidak mungkin tercapai.
B. Saran
Kesehatan
dan keselamatan kerja sangat penting dalam pembangunan karena sakit dan
kecelakaan kerja akan menimbulkan kerugian ekonomi (lost benefit) suatu
perusahaan atau negara olehnya itu kesehatan dan keselamatan kerja harus
dikelola secara maksimal bukan saja oleh tenaga kesehatan tetapi seluruh elemen
yang ikut terlibat dalam masyarakat.
DAFTAR RUJUKAN
Wirahadikusumah,Reni.2008.Kecelakaan.(Online),
(lilo.staff.fkip.uns.ac.id/files/2008/09/kecel.. ,diakses 13 Desember 2009)
Warta
Ekonomi, ”K3 Masih Dianggap Remeh,” 2 Juni 2006
Surat
Keputusan Bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Tenaga Kerja No. Kep.
174/MEN/1986-104/KPTS/1986: ”Pedoman Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada
Tempat Kegiatan Konstruksi.”
Keputusan
Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 384/KPTS/M/2004
”Tentang
Pedoman Teknis Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi
Bendungan.”
Hinze, J.,
and Bren, K. (1997). “The Causes of Trenching Related Fatalities and Injuries,”
Proceedings
of Construction Congress V: Managing Engineered Construction in
Expanding
Global Markets, ASCE, pp 389-398.
Keppres RI
No.22 Tahun 1993 ”Tentang Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja.”
King, R.W.
and Hudson, R. (1985). “Construction Hazard and Safety Handbook: Safety.”
Butterworths, England.
Occupational
Safety and Health Administration (Revisi 2000). “Occupational Safety and Health
Standards for the Construction Industry” (29 CFR Part 1926) – U.S. Department
of Labor.
Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.PER-01/MEN/1980 “Tentang Keselamatan
dan Kesehatan Kerja pada Konstruksi Bangunan.”
Peraturan
Pemerintah RI No. 14 Tahun 1993 “Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial
Tenaga Kerja.”
Surat
Keputusan Bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Tenaga Kerja
No.Kep.174/MEN/1986-104/KPTS/1986:
“Pedoman Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi.”
The
Business Roundtable (1982). “Improving Construction Safety Performance”. A CICE
Project
Report. Construction Industry Institute, USA.
UURI Nomor
3 Tahun 1992 “Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.”
UURI Nomor
13 Tahun 2003 “Tentang Ketenagakerjaan
Tidak ada komentar :
Posting Komentar