A. Asal-usul
Nias adalah gugusan pulau yang jumlahnya mencapai 132 pulau, membujur di lepas pantai barat Sumatra menghadap Samudra Hindia.
Tidak semua pulau-pulau berpenghuni. Hanya ada sekitar lima pulau besar yang dihuni oleh manusia, yaitu Pulau Nias (9.550 km²), Pulau Tanah Bala (39,67 km²), Pulau Tanah Masa (32,16 km²), Pulau Tello (18 km²), dan Pulau Pini
(24,36 km²). Di antara kelima pulau tersebut, Pulau Niaslah yang
berpenghuni paling padat, dan menjadi pusat kegiatan ekonomi dan
pemerintahan. Pulau yang terkenal dengan budaya megalitiknya ini
menyimpan beberapa misteri dan keunikan. Termasuk mengenai asal-usul
leluhur orang Nias saat ini. Para penghuni pulau ini menyebut dirinya
sebagai ono niha (orang Nias) yang diyakini oleh sebagian ahli antropologi dan arkeologi sebagai salah satu leluhur tertua di Nusantara.
Ada beberapa versi mengenai siapa sebenarnya leluhur suku Nias saat ini, baik yang bersumber dari hoho (cerita lisan yang berkembang di masyarakat Nias dan diwariskan secara turun-temurun sehingga menyerupai mitos), maupun data-data ilmiah temuan para arkeolog. Hoho yang berkembang di Nias menyebutkan bahwa manusia pertama yang tinggal di Nias adalah sowanua atau ono mbela.
Ada beberapa versi mengenai siapa sebenarnya leluhur suku Nias saat ini, baik yang bersumber dari hoho (cerita lisan yang berkembang di masyarakat Nias dan diwariskan secara turun-temurun sehingga menyerupai mitos), maupun data-data ilmiah temuan para arkeolog. Hoho yang berkembang di Nias menyebutkan bahwa manusia pertama yang tinggal di Nias adalah sowanua atau ono mbela.
- Ono mbela > merupakan keturunan penguasa kayangan, Ibu Sirici, yang memerintahkan keenam anaknya untuk turun ke bumi menggunakan liana lagara; sejenis tumbuhan yang biasanya merambat di pohon. Karena liana lagara yang digunakan telah rapuh, sebagian di antara mereka ada yang jatuh ke bumi dan sebagian yang lain memilih tinggal di atas pohon. Anak turun Ibu Sirici yang memilih tinggal di atas pohon inilah yang kemudian disebut sebagai sowanua atau ono mbela (manusia pohon). Ono mbela dikenal memiliki kulit yang putih dan berparas cantik. Ciri-ciri fisik tersebut mengundang para peneliti untuk membuat sebuah interpretasi bahwa ono mbela berjenis kelamin perempuan.
“Lantas ke mana perginya anak turun Ibu Sirici yang jatuh ke tanah?”
Menurut sebuah versi hoho yang lain, mereka kemudian menyelamatkan diri dengan mencari perlindungan di gua-gua. Mereka tidak lagi disebut sebagai ono mbela tetapi nadaoya atau manusia yang menghuhi gua. Secara fisik keduanya berbeda. Jika ono mbela dikenal memiliki kulit putih dan berparas cantik, maka nadaoya
dikenal memiliki kepala dan tubuh yang lebih besar dengan kulit
berwarna gelap. Besar kemungkinan keduanya sudah tergolong bangsa
manusia, namun berasal dari ras yang berbeda, bukan satu keturunan.
Lantaran keterbatasan pengetahuan yang dimiliki penduduk Nias waktu itu,
juga tata cara hidup yang berbeda, asal-usul keduanya kemudian
cenderung dimitoskan karena dianggap memiliki nenek moyang yang berbeda
dengan manusia pendatang. Apa yang dijelaskan hoho ini didukung
oleh bukti-bukti ilmiah. Berdasarkan hasil penelitian Badan Arkeologi
Medan, di Nias ditemukan jejak-jejak manusia prasejarah yang
meninggalkan artefak-artefak di gua-gua, salah satunya yang terkenal
adalah di Gua Tőgi Ndrawa yang terletak di Desa Lőlőwanu
Niko‘otanő, Kecamatan Gunung Sitoli. Jejak kehidupan tersebut dapat
ditemukan melalui alat-alat tulang dan batu berupa serpih, batu pukul,
dan pipisan. Selain itu, juga ditemukan sisa-sisa vertebrata yang
terdiri dari ikan, ular, kura-kura, kelelawar, hewan berkuku genap
(artiodactyla), dan cangkang moluska dari kelas gastropoda dan pelecypoda.
Di Nias juga berkembang hoho yang lain, tepatnya di Kecamatan Gomo, Kabupaten Nias Selatan. Hoho ini terkait dengan nama Gomo
untuk kecamatan yang dimaksud. Kata gomo, memiliki makna owo–gomo–omo,
yang berarti perahu –gomo– rumah (Hammerle, 2001). Dahulu kala, terdapat
rombongan manusia perahu berasal dari daratan Asia yang
terombang-ambing di tengah samudra yang kemudian terdampar di Nias.
Meskipun Hammerle mengakui pendapatnya ini tidak memiliki cukup bukti
ilmiah, namun tafsir yang dikemukakannya cukup masuk akal. Ia
menghubungkan perahu dengan sejarah asal-usul suku Nias yang datang dari
seberang lautan. Mereka terdampar di pantai sekitar muara sungai, lalu
membangun rumah (omo) di pinggir sungai yang sekarang dikenal dengan
Sungai Gomo. Jadi, kata gomo ada hubungannya dengan owo (perahu) dan omo
(rumah).
Meskipun hoho yang berkembang di Nias tidak hanya seperti yang disebut di atas (karena hampir setiap marga memiliki hoho-nya masing-masing), namun ketiga hoho inilah yang sampai saat ini paling diyakini sebagian besar orang Nias. Dilihat dari rasnya, orang Nias termasuk dalam rumpun Austronesia.
Bahasa sehari-hari yang digunakannya, yaitu bahasa Nias, juga semakin
memperkuat pendapat tersebut. Secara genealogis, bahasa Nias tergolong
rumpun bahasa Austronesia. Ciri dialek bahasa Nias adalah nada yang meninggi di akhir kata dan kalimat. Menurut Wikipedia, bahasa Austronesia
dituturkan secara luas, dari Indonesia Barat, Bugis, Aceh, Cham (di
Vietnam dan Kamboja), Melayu, Indonesia, Iban (Etnik Dayak Iban di
Kalimantan), Sunda, Jawa, Bali, Chamoru (bahasa asli penduduk Kepulauan
Mariana Utara -yang terletak diantara Hawaii dan Filipina- dan Guam dan
Palau. Secara umum, kebudayaan yang berkembang di Nias juga memiliki
kesamaan dengan kawasan-kawasan Austronesia lainnya, yaitu berciri
megalitik, memuja roh leluhur, dan bercocok tanam.
Dilihat dari topografinya, Nias adalah dataran
rendah yang di tengahnya terdapat bukit-bukit. Mayoritas penduduknya
masih tinggal di pedalaman, di kampung-kampung yang saling mengisolasi,
dan berprofesi sebagai petani. Meskipun metode bertani masyarakat Nias
masih bersifat sederhana, tetapi mereka tetap mampu menghasilkan
beberapa komoditas unggulan, seperti kelapa, karet, cokelat, dan nilam.
B. Konsep Leluhur Orang Nias
Masyarakat Nias meyakini terdapat tiga kelompok etnis berbeda yang pernah —bahkan sampai saat ini keturunannya dianggap masih tinggal di Nias, yaitu:
- Niha sebua gazuzu: yaitu manusia yang memiliki kepala besar dan merupakan ciri manusia purba yang hidup ribuan tahun lalu dan tinggal di gua-gua, sehingga mereka juga disebut manusia dari bawah tanah (soroi tou). Dalam hoho di atas mereka disebut nadaoya;
- Niha safusi: yaitu kelompok manusia berkulit putih dan cantik yang tinggal di atas pohon. Dalam hoho di atas mereka disebut sebagai ono mbela;
- Lani ewöna: yaitu bangsa manusia yang sudah dikategorikan sebagai homo sapiens yang bermigrasi dari seberang lautan dengan keahlian dan pengetahuan yang lebih tinggi dari kedua pendahulunya, sehingga mereka berpengaruh besar dan membawa transformasi sosial di Nias. Kelompok etnis inilah yang selanjutnya memproklamirkan diri sebagai ono niha (orang Nias) (“Hammerle, 2001″).
Namun, seiring berjalannya waktu, dan seolah-olah mengamini ramalan Teori Evolusi, hanya kelompok etnis lani ewöna lah yang sanggup bertahan hidup di Pulau Nias.
Mereka memiliki teknologi yang lebih maju, sehingga sanggup bertahan
hidup tidak hanya dari mengandalkan sumber pangan yang tersedia di alam
tetapi memiliki ketrampilan untuk mengolah tanah dan bercocok tanam.
Kemampuan inilah yang diduga banyak arkeolog telah membuat manusia ini
sanggup bertahan hidup dalam waktu yang lama. Berbeda dengan kedua
pendahulunya yang sangat tergantung dengan alam. Ketika sumber pangan
yang tersedia di alam semakin menipis, mereka akhirnya terdesak dan
kemudian punah.
Sebelum dapat dipastikan bahwa hanya lani ewönalah yang
merupakan leluhur manusia Nias saat ini, perlu kiranya dijelaskan
terlebih dahulu tentang kedua pendahulunya secara lebih lengkap karena
hal ini dapat membantu mencari tahu siapa sebenarnya mereka dan mengapa
mereka menjadi punah.
1. Ono mbela atau Niha Safusi
Sebagaimana disebut di atas, ono mbela adalah mahluk yang
hidup di atas pohon. Di kalangan orang Nias, terdapat dua pendapat yang
berbeda mengenai mahluk ini. Sebagian penduduk Nias meyakini bahwa ono mbela adalah benar-benar manusia yang pernah hidup di Nias. Sedangkan sebagian yang lainnya menganggap ono mbela bukan manusia, melainkan mahluk gaib yang menguasai segala macam binatang di hutan. Namun, mengenai ciri fisik yang dimiliki ono mbela, masyarakat Nias tidak berselisih pendapat. Ono Mbela memiliki rambut putih, kulit putih, berparas cantik, dan mata biru seperti orang Eropa.
Ono mbela sudah menghuni Nias jauh sebelum ono niha datang ke pulau ini. Ono mbela
kemudian kalah bersaing dengan kelompok pendatang dan seringkali
“dibodohi” karena dianggap lebih rendah dan bukan berasal dari golongan
manusia. Dengan nada sombong, para pendatang ini kemudian menegaskan
dirinya sebagai satu-satunya kelompok yang berhak menghuni pulau Nias.
Akibat dominasi dari pendatang yang memiliki teknologi dan kebudayaan
yang lebih maju, ono mbela mulai terdesak, dan akhirnya mengundurkan diri hingga tidak dapat dijumpai lagi (“Hammerle, 2001″).
Sayang… usaha untuk membuktikan bahwa ono mbela adalah
manusia selalu terbentur dengan data. Sejauh ini, belum ditemukan
–bahkan tidak akan pernah –artefak-artefak yang menjelaskan bahwa mahluk
ini pernah hidup di Nias. Hal ini sebenarnya dapat dimaklumi, karena
jejak-jejak di tempat terbuka memang lebih mudah terhapus atau hilang
karena proses alam atau aktivitas manusia, seperti pembakaran hutan dan
perladangan yang intensif.
Untuk menjelaskan keberadaan ono mbela di Nias, ada dua hipotesis yang dapat diajukan.
Hipotesis pertama menyebutkan bahwa ono mbela adalah ras Australomelanesid,
manusia pertama yang menghuni wilayah Asia Tenggara. Seiring
berjalannya waktu, keberadaan mereka kemudian menjadi mitos bagi
masyarakat Nias dari generasi baru sesudahnya.
Hipotesis yang kedua menyebutkan bahwa ono mbela merupakan ras Mongoloid yang datang lebih awal ke Nias yang sebenarnya sudah membawa kebudayaan neolitik, namun tidak berkembang di Nias karena kondisi lingkungan menuntut para pendatang ini mengembangkan tradisi perburuan.
2. Nadaoya atau Niha Sebua Gazuzu
Nadaoya dianggap sebagai salah satu makhluk yang mungkin telah hidup
sezaman dengan ono mbela. Hal ini dibenarkan oleh salah satu hoho yang berkembang di Nias, bahwa antara ono mbela dan nadaoya berasal dari satu keturunan, yaitu Ibu Sirici. Dilihat dari ciri fisiknya, nadaoya berkulit gelap dan memiliki kepala yang besar. Mereka diduga adalah manusia purba dari ras Austromelanesid
yang hidup di lembah-lembah yang dalam dan gelap serta di tebing sungai
yang tinggi dan terjal. Habitat yang dimaksud menjurus pada gua-gua,
sebagaimana umumnya manusia purba lainnya.
Dalam kepercayaan dan tradisi lisan Nias yang berkembang di Nias, nadaoya
digambarkan sebagai makhluk jahat atau setan raksasa (bekhu sebua).
Suaranya besar sekali, aksentuasi bunyinya tidak jelas, dan terdengar
patah-patah. Bagi orang Nias, bertemu dengan nadaoya adalah
sebuah malapetaka. Sebab, kalau mereka lewat dan bertemu dengan manusia,
mereka akan langsung memangsa manusia tersebut. Sampai saat ini, cerita
tentang kejahatan nadaoya masih berkembang. Jangankan bertemu, menyebut nama nadaoya
saja adalah hal yang menakutkan bagi masyarakat Nias. Apalagi kalau
penyebutan itu dimaksudkan untuk mengutuk orang lain: “ya mu‘a ö nadaoya
ya mana ndraugö nadaoya” (semoga nadaoya mamangsa engkau). Ungkapan ini
adalah sesuatu yang keras dan ditakuti orang Nias.
Kalau dikaji tentang asal-usul masyarakat Nias, lalu dihubungkan
dengan bukti-bukti material yang terdapat di dalam gua-gua (seperti
artefak-artefak yang ditemukan di Gua Tőgi Ndrawa yang terletak di Desa
Lőlőwanu Niko‘otanő, Kecamatan Gunung Sitoli) dan tradisi lisan
sebagaimana diceritakan di atas, maka nadaoya merupakan kelompok manusia purba yang pernah tinggal di Nias dan menganut hukum rimba.
Mereka sudah hadir di pulau Nias sebelum kedatangan etnis lain. Dengan
demikian, mereka bukanlah setan raksasa. Mereka semakin ganas karena
terpojok dan tidak memiliki tempat lagi untuk berkembang, karena alam
telah dirusak oleh manusia yang memiliki pengetahuan.
Gua Tőgi Ndrawa
Jika kita merujuk pada data arkeologis yang dipublikasikan Badan Arkeologi Medan, nadaoya
benar-benar pernah hidup di Nias. Mereka tinggal di gua-gua sejak
12.000 tahun yang lalu, bahkan berlanjut hingga tahun 1150-an. Mereka
memanfaatkan biota laut dan mangrove. Budaya yang mereka miliki disebut
budaya Hoabinh, sebuah praktek kehidupan yang memanfaatkan batu-batuan sebagai alat bantu yang disebut Sumatralith, mirip dengan teknologi yang digunakan manusia purba di wilayah Hoabinh, Vietnam.
Dilihat dari rentang masa hidupnya, kemungkinan besar nadaoya pernah
hidup dalam waktu yang bersamaan dengan kelompok pendatang. Hanya saja,
karena manusia gua belum mengenal teknologi bercocok tanam, akhirnya
mereka kalah bersaing dengan manusia pendatang. Akibatnya, kelompok
mereka lambat-laun lenyap, dalam arti punah, atau sebagian membaur
dengan kelompok pendatang dalam jalinan pernikahan atau hubungan ekonomi
(tuan-budak).
Interaksi antara manusia gua dengan kaum pendatang mirip interaksi antara masyarakat Baduy dengan masyarakat Jakarta. Jakarta sudah berbudaya metropolis, sedangkan Baduy
berbudaya ladang yang masih menggunakan beliung batu untuk bercocok
tanam. Dalam waktu yang sama dan wilayah yang sama (Jawa bagian Barat)
berkembang dua kebudayaan yang secara teknologis sangat berbeda ibarat
bumi dan langit. Perlahan-lahan Baduy sedang berubah karena gencarnya pengaruh globalisasi dari Jakarta. Suku yang menurut Yuanzhi (2005),
sebagai salah satu suku tertua di Nusantara, dan sudah bertahan ratusan
bahkan ribuan tahun ini barangkali tidak lama lagi akan punah karena
meluruhnya sekat-sekat budaya, sosial, dan ekonomi di antara keduanya.
Kehidupan manusia gua dengan kelompok pendatang di Nias pada abad-abad
yang lalu dapat dibayangkan seperti kehidupan antara orang Baduy dengan orang Jakarta.
3. Lani Ewöna atau Ono Niha
Menurut Teori Persebaran Kebudayaan, leluhur orang Nias atau ono niha saat ini berasal dari daratan Cina bagian selatan, tepatnya wilayah Yunan. Hal ini dapat dilihat dari bukti-bukti linguistik dan arkeologi. Leluhur ono niha adalah penutur bahasa Austronesia yang bermigrasi dari Yunan secara bergelombang sekitar 3500 tahun sebelum Masehi hingga awal-awal Masehi (Sonjaya, 2008).
Konon, ketrampilan orang Nias dalam membuat patung kayu, menhir,
benda-benda megalitik lainnya, serta teknik bertani dan beternak,
diwarisi dari orang-orang Yunan yang datang ke pulau ini. Hipotesis ini
bertambah kuat jika melihat peralatan dan gaya arsitektur di Nias.
Pengaruh itu berupa motif kepala naga (hewan yang melegenda di Cina)
yang terdapat pada pegangan atau gagang pedang, bagian depan rumah
bangsawan, peti mayat, dan sejumlah megalit di daerah Lahusa dan Gomo
(Hammerle, 2007).
Kelompok pendatang ini juga tidak lagi tergantung dengan alam, karena
sudah mengenal tata cara bercocok tanam dan food producing. Mereka
sudah tinggal menetap. Banyaknya waktu luang juga telah mendorong mereka
memikirkan dan membayangkan hal-hal yang abstrak, seperti keindahan.
Ekspresi keindahan tersebut dapat dilihat pada manik-manik yang terdapat
di pakaian orang Nias dan gelang yang dipakai di lengan dan kaki.
Dilihat dari periodenya, masa ini disebut sebagai zaman neolitikum yang
ditandai dengan kemampun food producing dan benda-benda kebudayaan,
seperti tembikar, kapak batu, patung, dan lain-lain. Atas keunggulannya
itu, para pendatang dari Yunan yang berkebudayaan neolitik kemudian
memproklamirkan diri sebagai kelompok pertama yang telah meletakkan
dasar-dasar kebudayaan sebagaimana diekspersikan manusia Nias saat ini.
Mereka juga menyebut dirinya sebagai anak manusia yang berbeda dengan
kelompok manusia yang tinggal di pohon dan di gua, seperti ono mbela dan nadaoya (Sonjaya, 2008).
Orang-orang Yunan tersebut diperkirakan tiba di Nias melalui
Pelabuhan Singkuang, Tapanuli Selatan. Apabila dilihat di peta, Kota
Singkuang terletak persis di sebelah utara pantai barat Sumatra. Mereka
kemudian bergerak ke arah barat dan sampai di wilayah Lahusa dan Gomo,
yang sekarang ini menjadi pusat pemerintahan tingkat kecamatan. Jarak
yang ditempuh sekitar 110 kilometer, lebih dekat dibandingkan perjalanan
dari Sibolga menuju Gunung Sitoli. Sampai sekitar 500 tahun yang lalu,
pusat perkembangan kebudayaan Nias masih terletak di tepi Sungai Susua
dan Gomo (Hammerle, 2007). Jika dihubungkan dengan salah satu hoho
yang berkembang di Nias, khususnya di Kecamatan Gomo, hipotesis ini
bertambah kuat. Kata gomo, memiliki makna owo–gomo–omo, yang berarti
perahu –gomo– rumah. Owo merujuk pada alat transportasi yang digunakan
oleh orang-orang Yunan waktu itu, yaitu perahu. Gomo merujuk pada
wilayah yang dihuni, yaitu di daerah Gomo. Sedangkan omo merujuk pada
rumah yang dibangun di sekitar pinggiran Sungai Gomo (Sonjaya, 2008).
Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa pendapat yang paling kuat tentang siapa sebenarnya leluhur orang Nias atau ono niha saat ini adalah lani ewöna, imigran yang berasal dari Yunan, Cina bagian selatan. Meskipun kesimpulan ini juga tidak menampik fakta (jika telah dibuktikan secara ilmiah) bahwa telah terjadi perkawinan antara lani ewöna dengan ono mbela dan nadaoya. Namun, jika dilihat ciri-ciri fisik orang Nias saat ini, yaitu berkulit putih, bermata agak sipit, bertubuh gempal dan pendek, pendapat yang mengatakan bahwa leluhur orang Nias berasal dari Yunan sangat beralasan, karena pada umumnya orang-orang Cina juga memiliki ciri-ciri fisik yang sama.
Setelah beratus-ratus, bisa juga beribu-ribu tahun, nyaris tidak ada kelompok etnis lain yang menjadi pesaing lani ewöna di
Nias, mereka menjadi satu-satunya kelompok yang berkuasa, sehingga
mereka lebih leluasa untuk mengembangkan tempat pemukiman. Orang-orang
Nias mulai beranjak dari tempat tinggal para leluhurnya di sepanjang
Sungai Gomo, terutama di daerah Börönadu (sekarang sebuah desa yang
berada di Kecamatan Gomo). Hal ini dapat dilihat dari sejarah lisan yang
berkembang di Börönadu. Menurut Ama Watilina Hia, tokoh adat di
Börönadu, nenek moyang orang-orang di Gunung Sitoli dan Teluk Dalam
berasal dari Börönadu. Orang-orang Gunung Sitoli adalah keturunan orang Börönadu yang bernama Lase, sedangkan nenek moyang orang Teluk Dalam adalah orang Börönadu yang bernama Sadawamölö. Sejarah lisan ini diperkuat oleh pendapat “M.G. Thomsen” dalam bukunya yang berjudul Famareso Nhawalö Huku Föna Awö Gowe Nifasindro (Megalithkultur) Ba Dano Nias (1976)
yang menyebutkan bahwa perpindahan marga-marga besar dari Börönadu ke
tempat-tempat lain berlangsung antara 26 sampai 40 generasi yang lalu
(Sonjaya, 2008). Satu generasi sama dengan 25 tahun. Sayangnya,
pendapat ”M.G. Thomsen” tersebut tidak diikuti dengan penjelasan ke mana
persebaran orang-orang Börönadu tersebut. Lebih jelasnya sebagai
berikut:
“Telambanua bersama klannya pindah dari Börönadu kira-kira 40 generasi yang lalu. La‘ia bersama klannya pindah dari Börönadu 38 generasi yang lalu. Ndururu bersama klannya pindah dari Börönadu 36 generasi yang lalu. Zebua bersama klannya pindah dari Börönadu 38 generasi yang lalu. Dan Hulu bersama klannya pindah dari Börönadu 26 generasi yang lalu.”
Sejak proses persebaran tersebut, marga-marga besar di Nias mulai
terbentuk, yang berujung pada munculnya bibit-bibit persaingan dan
permusuhan antarsesama orang Nias. Bagi orang Börönadu, orang-orang yang
meninggalkan Börönadu dianggap sebagai orang yang tidak menghormati
adat dan leluhur, meskipun proses perpindahan tersebut mungkin lebih
disebabkan oleh faktor-faktor pragmatis, seperti mencari sumber
kehidupan yang lebih layak menuju daerah yang lebih makmur, karena
secara geografis Börönadu memang terpencil.
Setelah peristiwa tersebut, persaingan antarmarga semakin kuat dan
atmosfirnya masih terasa hingga sekarang. Suasana interaksi antarmarga
dan antarkampung diwarnai egosentrisme, yaitu melihat marga
atau kampung yang lain selalu dari perspektif marga dan kampung sendiri.
Setiap marga berusaha menampilkan dirinya sebagai marga dengan
identitas yang paling unggul. Fenomena ini sejalan dengan Teori
Identitas Sosial, yang berasumsi bahwa pada dasarnya setiap individu
yang tergabung dalam kelompok sosial tertentu cenderung akan
membangga-banggakan kelompoknya sendiri, dan menganggap kelompok yang
lain lebih buruk atau rendah.
Titik puncak dari suasana persaingan dan permusuhan tersebut adalah berlakunya tradisi owasa (pesta 3 hari tiga malam dengan mengorbankan puluhan, bahkan ratusan babi) dan tradisi mangani binu (memburu kepala manusia), yang diperkenalkan pertama kali oleh tokoh bernama Awuwukha,
manusia digdaya yang hidup di Nias pertengahan abad ke-19. Tradisi
tersebut adalah simbol identitas dan kebanggaan orang Nias. Harga diri
seseorang ditentukan oleh berapa jumlah kepala babi dan kepala manusia
dari marga lain yang telah dipenggal. Mekipun tradisi ini mulai menyusut
pengaruhnya semenjak masuknya Agama, suasana permusuhan yang terwarisi
secara lintas generasi tersebut ternyata tidak hilang sepenuhnya, dan
masih berdampak pada pembentukan kepribadian orang Nias saat ini. Wajar
saja –jika orang Nias kemudian dianggap memiliki kecurigaan yang tinggi
dan cenderung menutup diri ketika berhadapan dengan orang asing.
C. Pengaruh Sosial
Terkait dengan tradisi penghormatan terhadap leluhurnya, orang Nias
mempraktekkan ritual-ritual tertentu agar hubungan baik dengan leluhur
tetap terbina. Orang Nias mewarisi sebuah tradisi yang kompleks dari
leluhurnya. Mereka mem-praktekkan banyak ritual, karena hampir setiap
peristiwa kehidupan dihayati dan dimaknai sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan mereka. Namun, bagian ini tidak bermaksud
menjelaskan itu semua. Bagian ini hanya berusaha membabarkan
ritual-ritual khusus yang secara langsung berkorelasi dengan
penghormatan terhadap nenek moyang atau leluhur orang Nias.
Di atas telah dijelaskan tentang ono mbela, mahluk yang dianggap sebagai salah satu leluhur orang Nias, meskipun di Nias sendiri terjadi perbedaan pendapat apakah ono mbela
merupakan generasi pertama penghuni Pulau Nias, atau sebangsa mahluk
halus. Terlepas dari pendapat mana yang benar, yang pasti keberadaannya
sampai saat ini masih berpengaruh cukup kuat terhadap kehidupan
sehari-hari masyarakat Nias.
Ono mbela adalah mahluk yang tinggal di atas pohon, yang berkuasa atas kehidupan seluruh marga satwa di hutan. Sehingga, ketika orang Nias hendak berburu binatang di hutan, mereka harus menyelenggarakan ritual persembahan sebagai bentuk penghormatan (dalam bahasa jawa pamit) kepada ono mbela. Ritual persembahan tersebut dilaksanakan dengan cara mengorbankan anak babi atau ayam berbulu putih di bawah pohon besar di hutan yang dianggap sebagai rumah ono mbela. Setelah memberi persembahan tersebut, si pemburu kemudian pulang ke rumah dan wajib melakukan puasa selama empat hari. Selama berpuasa, ia tidak boleh berdusta dan tidak boleh berpergian ke mana-mana. Setelah puasa selesai ditunaikan, ia baru diperbolehkan pergi ke hutan untuk berburu.
Ritual tersebut seolah-olah menggugurkan pendapat yang mengatakan bahwa hubungan antara orang Nias dengan ono mbela selalu berada dalam situasi permusuhan. Bahkan di daerah Börönadu, ono mbela lebih populer dengan sebutan belada, yang artinya adalah sahabat atau kawan. Dengan demikian, fakta ini dapat dijadikan sebagai bukti bahwa punahnya ono mbela
di wilayah Nias bukan karena direndahkan atau diperangi oleh orang Nias
(ono niha), melainkan lebih karena faktor seleksi alam sebagaimana
berlaku dalam Teori Evolusi, yaitu kalah bersaing dalam hal teknologi
dan kebudayaan.
Dengan aksentuasi nilai yang berbeda, di Nias juga terdapat tradisi penghormatan terhadap leluhur yang disebut mangani binu
atau tradisi memburu kepala. Kepala yang dimaksud bukanlah kepala
hewan, melainkan kepala manusia. Bagi pihak yang kurang memahami budaya
Nias secara lebih utuh, tradisi ini mungkin dianggap sebagai kebiadaban
–praktek kebudayaan paling keji– yang pernah dibuat oleh anak manusia.
Bahkan, seringkali terjadi kesalahpahaman yang berujung pada tuduhan
bahwa orang Nias dulunya adalah termasuk suku kanibal, sebagaimana
diungkapkan oleh Masashi (2005). Mengenai hal ini dia menulis:
“In the tenth century, Ajä‘ib al-Hind described the people between
Fansur (present day Barus) and Lambri and those in Kedah and the island
of Nias as cannibals.” terjemahan > “Di abad ke-10, Ajä‘ib al-Hind
menjelaskan bahwa orang-orang antara Fansur (yang dikenal dengan Barus
saat ini) dan Lambri dan orang-orang di Kedan dan Kepulauan Nias adalah
kanibal.”
Meskipun secara moral tradisi mangani binu tidak dibenarkan,
namun dengan menelusuri konteks sosio-historis masyarakat Nias zaman
dulu, diharapkan akan ditemukan titik terang mengapa tradisi ini bisa
berlaku. Dalam sejarah lisan yang berkembang di Nias, tradisi mangani
binu tidak dapat dipisahkan dari legenda Awuwukha, sosok manusia digdaya yang pernah hidup di Nias pertengahan abad ke-19 M. Mengenai kapan persisnya Awuwukha pernah hidup, telah terjadi silang pendapat. Menurut Sonjaya (2008), Awuwukha hidup sekitar 5 generasi (setiap generasi sama dengan 25 tahun) yang lalu. Sedangkan menurut Thomsen (dalam Zebua, 2008), Awuwukha hidup jauh lebih lama, yaitu sekitar 7 generasi yang lalu.
Sejenak kita lupakan dulu silang pendapat di atas, karena mengetahui siapa sosok yang dimaksud sebagai Awuwukha jauh lebih penting. Mengenai tradisi mangani binu yang identik dengan sosok Awuwukha, Sonjaya menceritakan faktor pencetus tradisi tersebut sebagai berikut:
“…..kira-kira pertengahan abad ke-19, di Börönadu hidup seorang manusia pemberani dan hebat karena kepiawaiannya dalam membunuh orang, bernama Awuwukha. Pada suatu hari, datanglah ke Börönadu seseorang dari Susua yang menyebarkan kabar bahwa di kampungnya akan diadakan sebuah pesta owasa yang cukup besar. Ia berjalan di tengah perkampungan sambil meneriakkan pengumuman tersebut dengan harapan akan banyak warga Börönadu yang datang ke pesta tersebut. Ketika melewati rumah Awuwukha, si pembawa kabar tersebut terhenti langkahnya karena ada teriakan seorang ibu yang cukup mengganggu dirinya. “Hey, lelaki yang kelihatan kemaluannya! Untuk apa teriak-teriak seperti itu?” teriak perempuan yang tiada lain adalah ibu Awuwukha. Bagi orang Nias, itu termasuk ungkapan yang sangat mengejek. Karuan saja si pembawa kabar tersebut marah dan memukulkan kemaluannya ke tiang rumah ibu Awuwukha hingga tiang rumah gempal. Orang itu melampiaskan kemarahannya dengan menunjukkan bahwa kemaluannya seharusnya tidak diejek. Setelah puas menunjukkan kejantanannya, ia pun kemudian pergi meninggalkan Börönadu.” (Sonjaya, 2008: 63).
Selang beberapa hari kemudian, ternyata lelaki tersebut datang lagi ke Börönadu dengan serombongan orang untuk menuntaskan kemarahannya. Rumah Awuwukha dan tujuh rumah saudaranya kemudian dibakar rombongan orang tersebut, termasuk lumbung padi milik Laimba, tokoh adat masyarakat Börönadu. Awuwukha hanya bisa berdiri mematung– terbelalak melihat kejadian tersebut. Sambil menahan amarah yang sudah mencapai ubun-ubun, di depan ibunya– Awuwukha bersumpah akan menuntut balas dengan cara memenggal kepala orang-orang yang terlibat dalam pembakaran tersebut. Tanpa persetujuan ibunya dan Laimba, Awuwukha nekad pergi untuk menuntut balas ke Susua. Beberapa hari kemudian:
“……dengan langkah tenang Awuwukha pulang dengan membawa belasan kepala manusia di dalam karung yang kemudian ditunjukkannya pada Laimba. Ternyata Laimba tidak berkenan dengan hal itu. Ia sebenarnya menghendaki musuhnya dibawa hidup-hidup. Laimba sadar betul bahwa dengan kejadian tersebut pertumpahan darah pasti akan berlanjut.” (Sonjaya, 2008: 65).
Dugaan Laimba terbukti. Penduduk Susua merencanakan pembunuhan terhadap Awuwukha, baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Tapi semuanya berujung pada kegagalan. Awuwukha terlampau kuat untuk dibunuh. Kehebatan Awuwukha kemudian tersiar sampai ke seluruh penjuru Nias. Kehebatannya kemudian dikukuhkan melalui upacara owasa, upacara tertinggi di masyarakat Nias. Jika seseorang telah menunaikan owasa, maka setiap perkataannya dengan sendirinya telah menjadi hukum. Sejak saat itu, setiap perkataan Awuwukha harus diikuti, bahkan sampai menjelang kematiannya.
Sebelum meninggal, Awuwukha berpesan kepada
anak-anak dan seluruh anggota keluarganya. Jika ia meninggal nanti, ia
ingin ditemani oleh lima orang yang akan melayaninya kelak di alam
kubur: satu orang menyiapkan minum, satu orang menjaga, satu orang untuk
menyiapkan makanan, satu orang membuat sirih pinang, dan satu orang
sebagai tukang pijat (Sonjaya, 2008). Karena setiap perkataan Awuwukha adalah hukum, maka wajib bagi anak-anaknya untuk mencarikan lima kepala untuk menemani penguburan Awuwukha. Hal ini berarti anak-anak Awuwukha harus melakukan mangani binu, karena tak kuasa menolak wasiat leluhur. Sejak kematian Awuwukha, dugaan Laimba tidak hanya sekedar kekhawatiran, tapi seolah-olah telah menjelma menjadi sebuah kutukan. Sebab, mangani binu
kemudian menjadi tradisi yang mengakar kuat di Nias. Ia tidak hanya
diselenggarakan untuk menghormati dan menyenangkan leluhurnya saja,
tetapi kemudian juga dipraktekkan untuk kepentingan-kepentingan lainnya,
misalnya membangun omo sebua (rumah bangsawan Nias).
Bahkan, tradisi mangani binu juga berlaku bagi kaum lelaki
yang akan meminang calon istrinya. Ia harus mempersembahkan kepala musuh
kepada keluarga calon mempelai perempuan. Semakin banyak jumlah kepala
yang ditunjukkan di depan calon mertua, maka semakin berharga lelaki
tersebut. Bahkan, bukan hanya pelakunya saja yang layak bangga, tetapi
juga leluhur-leluhurnya, karena dianggap telah berhasil melahirkan
keturunan yang hebat. Interkoneksi antara kewajiban memuliakan leluhur
dan keinginan menyandang identitas sosial yang tinggi seolah-olah
menjadi justifikasi bagi tradisi manguni binu di Nias.
Berbicara tentang tradisi mangani binu di Nias terasa belum lengkap jika tidak membahas sebuah ritual yang disebut famaoso dola,
atau pengangkatan tulang-tulang kembali para leluhur. Upacara ini
biasanya berlaku bagi kaum bangsawan. Kepala orang yang diambil waktu
perburuan ditempatkan di atas kuburan bangsawan pada saat famaoso dola. Upacara ini menggambarkan pandangan eskatologis orang Nias. Ada
keyakinan yang berkembang di Nias bahwa leluhur yang sudah mati itu
akan bangkit kembali atau akan terjadi kelahiran kembali ketika
kepala-kepala hasil buruan itu dipersembahkan (Zebua, 2008).
Orang Nias meyakini bahwa roh para leluhur dapat mengendalikan alam dan
kehidupan manusia. Dalam kebudayaan yang animistik, manusia selalu
berusaha menjalin hubungan yang baik dengan para roh leluhur agar
kehidupan dapat berjalan secara harmonis. Untuk menjalin hubungan itu,
orang Nias mengenal larangan yang disepakati bersama, salah satunya
tidak boleh menyebut nama leluhur secara sembarangan. Menurut aturan,
jika nama leluhur hendak disebutkan, maka harus diberi persembahan
terlebih dahulu, berupa makanan yang menjadi kesukaan roh yang
bersangkutan. Jika larangan tersebut dilanggar, maka orang yang
melanggar biasanya akan mendapat celaka.
Meskipun tradisi mangani binu sudah lama ditinggalkan oleh masyarakat Nias, pembunuhan dengan memenggal kepala masih kerap terjadi hingga sekarang. Sebagai sebuah tradisi, manangi binu memang telah dikutuk (terutama oleh agama baru), namun pengaruhnya masih sulit ditundukkan oleh orang Nias. Motifnya yang mulai bergeser, dari memenggal kepala berubah menjadi menusuk korbannya. Bayang-bayang emali (pemburu kepala) di masa lalu juga masih menghantui kehidupan kebanyakan orang Nias saat ini. Anak-anak kecil selalu dilarang bermain pada saat hari menjelang malam untuk menghindari emali. Hal ini juga bisa dilihat dari cara para lelaki dewasa di Nias ketika akan berpergian pada malam hari. Mereka selalu membawa senjata tajam untuk jaga diri. Jika pemenggalan kepala dalam tradisi mangani binu biasanya dilakukan oleh emali untuk bekal kubur, mas kawin, membangun rumah, dan alasan peperangan, pemenggalan kepala saat ini lebih banyak disebabkan oleh pertikaian dalam mempertahankan harga diri.
Sebagai penutup, sebuah kesaksian yang disampaikan oleh Sonjaya
ketika melakukan penelitian di Nias cukup menarik untuk diketahui. Bukti
bahwa pengaruh mangani binu belum hilang sepenuhnya dari kehidupan
masyarakat Nias –hanya mengalami transformasi motif dan bentuknya saja.
“Hanya dalam dua tahun terakhir di kawasan Gomo telah terjadi 12 kali pembunuhan. Dalam minggu pertama di Börönadu, saya mendengar ada pemenggalan kepala di desa tetangga hanya gara-gara memperebutkan pohon rambutan. Setelah mencoba menggali informasi mengenai kejadian itu, ternyata pembunuhan itu lebih berlatar belakang perebutan harga diri ketimbang pohon rambutan itu sendiri. Dua tahun setelah kejadian itu saya kembali berkunjung ke Börönadu. Dua hari sebelum kedatangan saya, di Desa Umbunase, tidak jauh dari Börönadu, terjadi lagi pembunuhan. Korbannya mengalami 11 tusukan dan kepalanya dibelah. Motifnya belum diketahui, yang pasti bukan perampokan karena sejumlah uang disaku korban tidak hilang. Orang-orang di Desa Hiliana‘a berseloroh bahwa motifnya hanya sekedar persaingan olah raga untuk menunjukkan siapa yang paling kuat satu sama lain.” (Sonjaya, 2008: 71-72).
(Afthonul Afif/bdy/01/07-08)
Daftar Pustaka
-
Deschamps, J.C., 1982, “Social Identity and Relations of Power Between Groups”, in Henry Tajfel (ed.), Social Identity and Intergroup Relations, Cambridge University Press.
-
Hammerle, J., 2001, Asal-Usul Manusia Nias, Gunung Sitoli: Yayasan Pusaka Nias.
-
Hammerle, J., 2007, “Nias: Antara Budaya Batu dan Ono Niha”, National Geographic Indonesia, Edisi Juni 2007.
-
Julianery, 2006, Kabupaten Nias, Artikel Kompas Edisi 06 April 2006.
-
Koestoro, L.P., Wiradnyana, K., 2007, Megalithic Tradition in Nias Island, Medan: Medan Archeological Office.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar